Pada pertengahan abad ke-7 ada sebuah kerajaan di Sumatra Tengah yang jadi kuat dan sangat berkuasa. Ibu negerinya terletak antara pertemuan Mahat dan Kampar (Muara Takus sekarang). Ibu negeri itu sangat setrategis, Minanga namanya. Kampar dapat ditempuh perahu-perahu laut sampai jauh ke pedalaman. Pedalaman itu tanahnya subur dan rakyatnya makmur. Di sebelah selatannya ada sebuah kerajaan, Malayu namanya. Mo-lo-yu ini sering dikunjungi kapal dari Tiongkok. Ibu negerinya kira-kira dekat Campa (Jambi sekarang) pada abad ke-7, yang merupakan bandar yang ramai. Malayu merupakan saingan yang hebat bagi Muara Takus.
Disebelah selatan Malayu ada pula sebuah kerajaan. Raja-rajanya memakai gelar-keturunan Syailendra (Tuan Gunung Batu). Ibu negerinya di tepi sungai Musi, kira-kira dekat Muka Upang (Palembang sekarang) atau dikenal dengan Swarnabhumi (Bumi Emas) atau Swarnadiva (Kota Emas). Daerah tersebut berdagang dengan Tiongkok dan Negara-negara Asia Tenggara pada abad ke-7. Di antara ketiga kerajaan tersebut , Muara Takuslah yang terkaya dan terkuat. Tanah pedalamannya (Minangkabau sekarang) subur, pedagang India dan Tiongkok melalui daerahnya.
Pada tahun 683 M berangkatlah Dapunta Hyang dari Muara Takus dengan 20.000 orang pasukan berjalan kaki yang diangkut oleh kapal/perahu laut (Prasasti Kedukan Bukit). Diserangnya Palembang. Untuk mengabadikan kemenangan itu raja menyuruh didirikan tugu peringatan. Tugu itu didirikan di Talang Tuwo (Prasasti Talang Tuwo) di dekat Palembang sekarang. Kerajaan yang telah mencapai kemenangan gilang gemilang itu di beri nama Sri-Wijaya (maknanya: kemenangan yang berkilau-kilauan/kemenangan sang raja).
Pada awal abad ke-6 dan ke-7, perdagangan laut yang mantap berdampak besar terhadap kerajaan-kerajaan di Asia Tenggara yang sedang berkembang. Pantai tenggara Sumatra menjadi pusat kerajaan Indonesia pertama yang paling maju, yang memanfaatkan jalur perdagangan antara Samudra Hindia, Laut Cina Selatan, dan “Kepulauan Rempah-rempah”.
Perdagangan laut di Asia berkembang dengan mengorbankan jalur darat, yaitu “Jalur Sutra” antara Cina, Timur Tengah, dan India. Penyatuan Cina di bawah Dinasti Sui dan Dinasti Tang abad ke-7 serta hilangnya perdagangan jarak jauh bangsa Persia menguntungkan kerajaan-kerajaan Asia Tenggara yang baru muncul. Pasar di Cina yang begitu besar tiba-tiba terbuka untuk barang dagangan dari Asia Tenggara. Sementara itu, Asia Tenggara pun mulai memasok banyak barang yang sebelumnya diperoleh dari India.
Beberapa kerajaan kecil yang ada di Jawa dan Sumatra pada awal abad ke-7, yang mungkin sudah merupakan perintis kegiatan perdagangan yang luar biasa, segera mengirimkan duta-duta mereka berduyun-duyun ke Cina. Namun setelah tahun 670 M, “demam” ini tiba-tiba mereda dan hanya satu kerajaan, yaitu Shi-li-fo-shih (menurut sumber-sumber Cina) yang masih tetap mengirimkan dutanya ke Cina. Teks-teks Cina menggambarkan kerajaan ini sebagai salah satu pelaku perdagangan utama di Laut Selatan. Kemenyan, damar, dan kapur barus dari Sumatra serta Semenanjung Malaka menjadi bahan barang dagangan standar dalam perdagangan dengan Cina, di samping rempah-rempah dan merica.
Nama kerajaan ini muncul secara bersamaan dalam berbagai teks yang ditulis oleh biksu-biksu Buddha Cina. Dalam perjalan ke India untuk mengumpulkan teks-teks keagamaan yang diperlukan untuk menyeragamkan kegiatan agama ini di Cina, para biksu Buddha tersebut berlayar dengan kapal-kapal Asia Tenggara dan seringkali berhenti di Shi-li-fo-shih. Bahkan kadang-kadang mereka menetap selama bertahun-tahun untuk belajar bahasa Sansekerta dan tinggal di lingkungan beragama dengan rekan-rekan setempat atau pun dari India. Biksu Cina yang terkenal , I-Tsing, menghabiskan sepuluh tahun di sana antara tahun 671 dan 695 M. Ia menulis tentang kota Sriwijaya dan mengatakan: “ada lebih dari seribu pendeta Buddha yang pikirannya terpusat untuk belajar dan melakukan pekerjaan baik. Aturan-aturan dan upacara-upacara mereka serupa dengan yang ada di India.”
Tahun 1918, sejarawan terkemuka, G. Coedes, mengaitkan sumber-sumber asing dengan sekelompok prasasti batu temuan di Sumatra selatan yang ditulis dalam bahasa Melayu Lama dan aksara India yang dinamakan Pallawa. Prasasti-prasasti yang dipahat antara tahun 683 dan 686 M menyebutkan suatu kerajaan bernama Sriwijaya, yang berpadanan dengan Shi-li-fo-shih dalam bahasa Cina. Sebagian besar catatan penting ini ditemukan di Palembang, sekarang ibukota Provinsi Sumatra Selatan.
Prasasti-prasasti lain ditemukan di ujung selatan Sumatra, Pulau Bangka, dan daerah hulu Sungai Batanghari. Palembang muncul dalam teori Coedes sebagai pusat kekuasaan politik. Dengan menggambungkan bukti dari prasasti-prasasti setempat serta arca-arca Buddha dan Hindu yang ditemukan tersebar di Palembang dan sekitarnya dengan bukti dari sumber-sumber luar negeri, Coedes menyimpulkan bahwa pusat dan tempat lahir Sriwijaya yang makmur itu hanya mungkin di Kota Palembang modern.
Tidak ada ingatan tentang nama Sriwijaya dalam tradisi lisan Sumatra Selatan atau tempat lain dalam wilayah Melayu. Cerita-cerita yang dikumpulkan di Malaka beberapa ratus tahun kemudian memang mengabadikan kenangan tentang sebuah kerajaan tanpa nama yang konon sangat makmur di dekat Palembang di daerah Bukit Seguntang.
Bukti tersebut, yang terletak pada batas Kota Palembang modern, masih memunyai arti yang penting bagi warga setempat. Banyak sekali cerita yang berkaitan dengannya, yang berfungsi sebagai kisah asal mula bagi bangsa Melayu. Cerita-cerita tersebut sesuai dengan topografi Palembang sekarang serta penemuan-penemuan arkeologis dan sejarah yang berkaitan dengan Sriwijaya belakangan ini. Dengan begiti, sulit untuk tidak menghubungkannya dengan sejarah yang nyata dan dengan ingatan tentang tahap-tahap pembentukan negara seperti Sriwijaya, yang menjadi makmur karena menguasai Selat Malaka, persimpangan jalur-jalur laut utama di Asia Kuno.
Namun untuk waktu yang cukup lama, Palembang tidak memberikan cukup bukti nyata yang memungkinkan para arkeolog menegaskan kesimpulan bahwa situs ini pernah mempunyai peranan penting dalam sejarah Asia. Sementara itu, berbagai situs lain terutama di Tanah Genting di Semenanjung Malaka, memberikan cukup banyak peninggalan arkeologis seperti barang-barang dagangan, prasasti, dan arca yang memungkinkan pembuktian sebagai letak ibukota Sriwijaya. Hal ini terus memacu perdebatan di kalangan ilmuwan.
Baru pada tahun 1980-an, para arkeolog mulai mengungkap bukti-bukti kuat tentang adanya kegiatan ekonomi dan agama di Palembang pada periode kejayaan Sriwijaya sebagaimana dinyatakan dalam sumber-sumber asing (abad ke-7 sampai ke-13). Prasasti-prasasti baru dan arca-arca ditemukan dalam penelitian dan penggalian arkeologis, dan kadang-kadang dalam pekerjaan pembangunan kota.
Bukti-bukti di luar prasasti dan arca sangat jarang untuk tahap awal Sriwijaya. Penentuan umur dengan analisa karbon 14 (C14) terhadap arang dan kayu yang ditemukan dalam lapisan paling dalam dari penggalian arkeologis menunjukan bahwa penduduk telah menetap di Palembang antara akhir abad ke-6 sampai abad ke-9.
Sebagai bukti behwa perdagangan sudah dilakukan di sana adalah temuan sisa kapal abad ke-6 dan ke-7, salah satunya di kaki Bukit Seguntang. Semuanya dibuat dengan teknik asli Asia Tenggara dan jelas menunjukkan adanya kegiatan ekonomi setempat. Karena berbagai alasan, pengenalan situs-situs arkeologi dari periode awal ini di Palembang bersifat mendua: pada periode ini keramik-keramik Cina yang bermanfaat sebagai tonggak arkeologi untuk situs-situs lebih lanjut di Indonesia belum diekspor oleh Cina. Ketiadaan keramik itu tidak memudahkan pekerjaan para arkeolog dalam lingkungan yang keadaannya terganggu. Pembangunan dan kegiatan lain yang merusak bukti-bukti arkeologis telah dilakukan di daerah sekitar Bukit Seguntang pada abad terakhir.
Situs-situs lain yang terletak di pinggir Kota Palembang sebelah timur, dekat sebuah pabrik pupuk modern, diketahui telah musnah akibat pembangunan. Mengingat bahwa Kota Palembang sekarang yang berpenduduk satu juta jiwa lambat laun melampaui batas daerah-daerah sekitarnya yang kemungkinan masih terdapat situs, para arkeolog hampir tidak memunyai kesempatan untuk memeroleh gambaran lengkap mengenai tahap awal perkembangan Sriwijaya.
Peninggalan-peninggalan apa yang mungkin ditemukan oleh para arkeolog mengenai Sriwijaya di masa awalnya jika keramik Cina tidak ada dan candi-candi batu bata dihancurkan? Lebih banyak tergantung pada pola pemukiman Sriwijaya. Apabila penduduknya mengikuti kebiasaan penduduk modern di Palembang dan bagian-bagian lain Sumatra, maka mereka pasti membangun rumah-rumah pemukiman di atas air. A.R. Wallace pada pertengahan tahun 1800-an menggambarkan penduduk Palembang sebagai “kota berpenduduk banyak, berukuran panjang beberapa mil tapi hanya selebar satu rumah, semua tempat tinggal dibangun di atas tiang-tiang di pinggir sungai”. Kebanyakan artefak pasti terjatuh ke dalam lumpur dan terpendam semakin dalam karena proses pengendapan selama bertahun-tahun.
Kepustakaan
Djafar, Hasan. 1992. “Prasasti-prasasti Masa Kerajaan Melayu Kuno dan Beberapa Permasalahannya.” makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I dan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
Mulyana.Slamet 1981.Kuntala, Sriwijaya dan Swarnabhumi. Idayu, Jakarta.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto. 2008. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka
Soekmono. 1992. “Rekonstruksi Sejarah Melayu Kuno Sesuai Tuntutan Arkeologi.” makalah Seminar Sejarah Melayu Kuno. Jambi: Pemerintah Daerah Tk. I dan Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jambi.
Soeroso M.P. 2002. “Seni Bangunan Masa Hindu-Buddha di Jambi.” dalam 25 Tahun Kerjasama Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan EFEO. Jakarta: EFEO. Hlm. 99-111.
Wolters, O.W. 1974. Earley Indonesian Commerce : A Study of the Origin of Srivijaya. Ithaca and London: Cornell University Press.